Berita Terkini

255

Panduan Pemilih Pemula: Gunakan Hak Suaramu dengan Benar!

‎Pemilihan Umum (Pemilu) adalah sarana bagi rakyat untuk menentukan pemimpin dan wakil rakyat yang akan membawa arah pembangunan bangsa ke depan. Setiap warga negara Indonesia yang sudah berusia 17 tahun atau lebih, atau sudah/pernah menikah, memiliki hak konstitusional untuk memilih. ‎ ‎Bagi pemilih pemula, menggunakan hak suara dalam Pemilu mungkin terasa baru dan menegangkan. Karena itu, penting untuk memahami tata cara menggunakan hak suara agar partisipasi dapat dilakukan dengan benar, sah, dan bermakna. 1. Pastikan Terdaftar dalam DPT (Daftar Pemilih Tetap) ‎Langkah pertama adalah memastikan nama kamu terdaftar sebagai pemilih. ‎ ‎Cek namamu di Daftar Pemilih Tetap (DPT) yang diumumkan oleh KPU di desa/kelurahan. ‎Kamu juga bisa mengecek secara online melalui situs resmi cekdptonline.kpu.go.id. ‎ ‎Jika belum terdaftar, segera laporkan ke Panitia Pemungutan Suara (PPS) di desa atau petugas KPU Kabupaten agar bisa dimasukkan dalam Daftar Pemilih Tambahan (DPTb). ‎2. Datang ke TPS Sesuai Jadwal ‎Pada hari pemungutan suara: ‎• Datanglah ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) yang sudah ditentukan. ‎• Bawa KTP elektronik (e-KTP) dan/atau Formulir C6 (pemberitahuan memilih). ‎• Waktu pemungutan suara biasanya dimulai pukul 07.00 hingga 13.00 waktu setempat. ‎3. Proses di TPS ‎Setibanya di TPS, ikuti langkah-langkah berikut: ‎1. Lapor kepada petugas KPPS dengan menunjukkan KTP dan Formulir C6. ‎2. Setelah diverifikasi, kamu akan menerima surat suara sesuai jenis pemilihan (Presiden, DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota). ‎3. Petugas akan menandai jari dengan tinta sebagai tanda kamu telah memilih. Baca juga: Pemilihan Menggunakan Noken: Ciri Khas Demokrasi di Tanah Papua 4. Gunakan Hak Suara di Bilik Suara Masuklah ke bilik suara dan lakukan hal berikut: ‎1. Buka surat suara dengan hati-hati. ‎2. Pilih calon atau partai politik yang kamu kehendaki dengan cara mencoblos menggunakan alat yang disediakan. ‎3. Coblos satu kali pada kolom yang tepat. ‎Misalnya: di dalam kotak nama calon atau lambang partai. ‎ ‎Pastikan tidak ada tanda coblos lain, agar suara kamu tidak dianggap tidak sah. ‎5. Masukkan Surat Suara ke Kotak yang Sesuai Setelah mencoblos: ‎1. Lipat kembali surat suara seperti semula. ‎2. Masukkan ke dalam kotak suara sesuai warna atau jenis surat suara. ‎ ‎Contohnya: ‎Abu-abu: Presiden dan Wakil Presiden ‎Kuning: DPR RI ‎Merah: DPD RI ‎Biru: DPRD Provinsi ‎Hijau: DPRD Kabupaten/Kota ‎6. Jari Diberi Tinta Sebagai Bukti Telah Memilih ‎Setelah selesai, petugas akan mencelupkan salah satu jarimu ke tinta ungu sebagai tanda bahwa kamu telah menggunakan hak pilihmu. Tanda tinta ini juga mencegah seseorang memilih lebih dari satu kali. ‎7. Jaga Kerahasiaan Pilihanmu ‎Pemilu bersifat langsung, umum, bebas, dan rahasia. Artinya, pilihanmu adalah hak pribadi yang tidak boleh dipengaruhi atau diketahui orang lain. Jangan ragu untuk memilih sesuai hati nurani. ‎8. Jadilah Pemilih Cerdas dan Berintegritas ‎Sebagai pemilih pemula, kamu memiliki peran penting dalam menentukan masa depan bangsa. Sebelum hari pemungutan suara: ‎1. Kenali profil calon dan visi-misi partai politik. ‎2. Hindari politik uang dan informasi hoaks. ‎3. Gunakan hak suaramu dengan penuh tanggung jawab. ‎


Selengkapnya
155

Pemilihan Menggunakan Noken: Ciri Khas Demokrasi di Tanah Papua

‎Pemilihan umum adalah wujud nyata kedaulatan rakyat dalam menentukan pemimpin bangsa dan daerah. Di berbagai wilayah Indonesia, pemilihan biasanya dilakukan dengan sistem pencoblosan atau pencontrengan langsung oleh pemilih di tempat pemungutan suara (TPS). Namun, di beberapa wilayah Papua, terdapat cara unik dan khas dalam menyalurkan hak pilih, yaitu sistem noken. Apa Itu Sistem Noken? Noken adalah tas tradisional masyarakat Papua yang terbuat dari serat kayu atau akar tumbuhan. Namun dalam konteks pemilu, sistem noken merujuk pada cara pemilihan tradisional yang dilakukan dengan kesepakatan bersama masyarakat adat, di mana kepala suku atau tokoh adat mewakili warga untuk menyalurkan suara kepada pasangan calon atau partai politik tertentu. ‎ ‎Sistem ini bukan sekadar tradisi, melainkan bentuk kearifan lokal yang diakui dan dilindungi oleh negara. ‎Dasar Hukum Sistem Noken ‎Sistem noken telah diakui secara sah oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan MK Nomor 47-81/PHPU.A-VII/2009, yang menegaskan bahwa sistem noken adalah bagian dari budaya dan kearifan lokal masyarakat Papua. Oleh karena itu, pelaksanaannya dapat diterima dalam penyelenggaraan pemilu di daerah tertentu yang masih menjunjung tinggi sistem adat tersebut. Baca Juga: Mengapa E-Voting Belum Bisa Diterapkan di Pemilu Nasional Indonesia? ‎Cara Pelaksanaan Sistem Noken ‎Pelaksanaan sistem noken dapat dilakukan dengan dua cara utama: ‎ ‎1. Sistem Noken Gantung (Perwakilan) ‎Kepala suku atau tokoh adat menerima kesepakatan dari seluruh masyarakat adat mengenai calon pilihan mereka. Noken kemudian digantung dan menjadi simbol penyaluran suara seluruh masyarakat dalam kelompok tersebut. ‎2. Sistem Noken Tidak Langsung (Kesepakatan Bersama) ‎Pemilih secara terbuka menyatakan pilihannya dalam suatu musyawarah, lalu kepala suku mencatat hasil kesepakatan dan menyalurkannya di TPS mewakili seluruh anggota masyarakat. ‎Mengapa Sistem Noken Dipertahankan? ‎Sistem noken bukan hanya soal cara memilih, tetapi juga menyangkut nilai kebersamaan, musyawarah, dan penghormatan terhadap adat istiadat lokal. Bagi masyarakat adat Papua, keputusan bersama dianggap lebih penting daripada keputusan individu. ‎ ‎Dengan mengakomodasi sistem noken, negara menghargai keberagaman budaya bangsa dan menjamin bahwa pelaksanaan pemilu tetap menjunjung tinggi asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil, dengan penyesuaian terhadap kondisi sosial-budaya setempat. Tantangan dan Upaya Pembinaan Meski sistem noken diakui secara hukum, pelaksanaannya tetap perlu mendapat pendampingan dan pengawasan dari KPU, Bawaslu, serta pemangku adat agar prinsip demokrasi tetap terjaga. Edukasi kepada masyarakat terus dilakukan agar pelaksanaan pemilu tetap transparan, adil, dan akuntabel, tanpa mengabaikan nilai-nilai budaya lokal. ‎


Selengkapnya
771

Mengapa E-Voting Belum Bisa Diterapkan di Pemilu Nasional Indonesia?

Wamena - Halo sobat pemilih apakah kalian pernah mendengar E - Voting atau Electorinic Voting ? Kalau belum sini baca selengkapnya. E-Voting atau Electrnic Voting adalah sebuah sistem yang menggunakan perangkat elektronik dan teknologi informasi untuk memfasilitasi proses pemungutan suara dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan internal lainnya. Secara sederhana, e-voting adalah pengganti penggunaan kertas suara, paku, dan kotak suara konvensional dengan perangkat digital. Mengapa E - Voting Belum diterapkan di Indonesia ?  Wacana penerapan electronic voting (e-voting) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia sering kali muncul, didorong oleh potensi efisiensi, penghematan biaya, dan kecepatan penghitungan suara yang ditawarkannya. Indonesia bahkan telah melakukan uji coba e-voting dalam skala kecil, terutama dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa daerah.  Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa penggunaan e-voting bersifat konstitusional selama tidak melanggar asas Pemilu (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil), implementasinya pada Pemilu serentak nasional masih menghadapi tantangan besar. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa e-voting belum bisa diterapkan secara menyeluruh di Indonesia: 1. Isu Keamanan Siber dan Integritas Sistem Isu keamanan adalah kendala terbesar dan paling sensitif. Penerapan e-voting menuntut jaminan keamanan siber yang absolut untuk mencegah peretasan (hacking), manipulasi data, atau serangan siber lainnya. Risiko Peretasan: Kekhawatiran akan peretasan dan kebocoran data pada sistem elektronik sangat tinggi. Kasus peretasan terhadap website atau data lembaga pemerintah di Indonesia beberapa kali terjadi, yang menimbulkan keraguan publik terhadap kemampuan sistem e-voting menahan serangan siber skala nasional. Transparansi dan Audit: Dalam sistem konvensional, audit manual melalui penghitungan fisik surat suara masih memungkinkan. Dengan e-voting, proses audit harus mampu memastikan bahwa setiap suara tercatat dengan benar tanpa dimanipulasi. Meskipun teknologi seperti Voter Verifiable Paper Audit Trail (VVPAT) dapat menyediakan jejak audit kertas, sistem utama tetap harus dipercaya sepenuhnya. 2. Kesenjangan Digital dan Infrastruktur Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas dengan kondisi geografis dan tingkat akses teknologi yang heterogen. Akses Listrik dan Internet: Masih banyak daerah terpencil yang memiliki keterbatasan akses listrik stabil dan jaringan internet yang memadai. Sistem e-voting memerlukan sumber daya listrik yang kuat dan, untuk beberapa model, koneksi internet yang stabil agar dapat beroperasi secara serentak di ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS). Ketersediaan Perangkat: Pengadaan dan distribusi perangkat keras (mesin e-voting) dalam jumlah masif untuk mencakup seluruh TPS di Indonesia membutuhkan investasi awal yang sangat besar dan logistik yang rumit. Baca Juga: Golput Saat Pemilu, Bisakah Dipidana? Begini Penjelasan 3. Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Literasi Digital Keberhasilan e-voting sangat bergantung pada kesiapan petugas pelaksana dan pemilih. Literasi Digital Pemilih: Meskipun populasi digital Indonesia terus bertambah, tingkat literasi digital masyarakat terutama di daerah pedesaan atau kelompok usia tertentu masih bervariasi. Dibutuhkan sosialisasi besar-besaran agar semua pemilih dapat menggunakan mesin e-voting dengan benar, menghindari human error yang dapat menyebabkan suara tidak sah. Keahlian Petugas KPPS: Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus memiliki keahlian teknis yang memadai untuk mengoperasikan, menangani kesalahan (trouble-shooting), dan menjaga perangkat e-voting. 4. Landasan Hukum dan Regulasi Meskipun konstitusional, penerapan e-voting skala nasional memerlukan payung hukum yang kuat dan spesifik, termasuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang rinci sebagai peraturan pelaksana. Hingga saat ini, kerangka hukum untuk pelaksanaan Pemilu serentak masih didasarkan pada sistem konvensional. Dibutuhkan penyesuaian besar-besaran pada undang-undang Pemilu yang berlaku. 5. Kepercayaan Publik Pada akhirnya, kunci dari Pemilu yang demokratis adalah kepercayaan publik terhadap hasil. Adanya kasus-kasus siber atau kegagalan teknis dalam uji coba skala kecil sering kali dimanfaatkan untuk meruntuhkan kepercayaan ini. Beberapa negara, seperti Jerman dan Belanda, bahkan sempat meninggalkan e-voting karena alasan kekhawatiran transparansi dan kepercayaan, meskipun mereka memiliki infrastruktur teknologi yang jauh lebih maju. Di Indonesia, menjaga kepercayaan jutaan pemilih terhadap sebuah "mesin" yang bekerja di belakang layar adalah tantangan politik yang sangat besar.


Selengkapnya
16

Ambang Batas Capres (Presidential Threshold) dan Pengaruhnya terhadap Demokrasi

Dalam setiap penyelenggaraan Pemilu Presiden di Indonesia, istilah Ambang Batas Pencalonan Presiden atau Presidential Threshold selalu menjadi topik pembahasan yang ramai diperbincangkan. Kebijakan ini menjadi salah satu elemen penting dalam sistem pemilu, karena menentukan siapa saja yang dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Namun, Presidential Threshold juga memunculkan perdebatan panjang terkait dampaknya terhadap sistem demokrasi. Artikel ini mengulas pengertian ambang batas capres, dasar hukumnya, dan bagaimana pengaruhnya terhadap demokrasi Indonesia. Apa Itu Presidential Threshold? Presidential Threshold adalah syarat minimum bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk dapat mencalonkan pasangan capres dan cawapres dalam pemilu. Di Indonesia, ambang batas ini diatur dalam Undang-Undang Pemilu, yaitu: Minimal 20% kursi DPR, atau 25% suara sah nasional pada Pemilu DPR sebelumnya. Artinya, tidak semua partai dapat langsung mencalonkan pasangan capres-cawapres. Mereka harus memenuhi syarat dukungan tertentu atau berkoalisi dengan partai lain. Baca juga: Pengertian Politik Dinasti: Dampak dan Regulasi Dasar Hukum Presidential Threshold Ambang batas pencalonan presiden pertama kali diterapkan setelah era reformasi dan diatur dalam: UU No. 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (yang masih berlaku) Kebijakan ini diterapkan dengan tujuan menyederhanakan jumlah pasangan calon dan mendorong stabilitas politik. Tujuan Diterapkannya Presidential Threshold Pemerintah dan pembentuk undang-undang memiliki beberapa alasan menetapkan ambang batas tersebut: 1. Membatasi Jumlah Paslon Agar pemilu lebih efisien dan tidak terlalu banyak pasangan calon yang bisa memecah suara. 2. Stabilitas Pemerintahan Diharapkan presiden terpilih memiliki dukungan politik yang cukup besar sehingga pemerintahan lebih stabil. 3. Mendorong Koalisi Politik Partai-partai didorong bekerja sama untuk mencalonkan kandidat terbaik. Perdebatan dan Kritik terhadap Presidential Threshold Meskipun memiliki tujuan tertentu, Presidential Threshold kerap menimbulkan pro dan kontra. A. Kritik terhadap Ambang Batas Capres Menghambat Kompetisi Politik Ambang batas dianggap mengurangi jumlah calon alternatif dan membatasi kesempatan munculnya tokoh baru. Tidak Relevan untuk Pemilu Serentak Pemilu presiden dan legislatif kini dilakukan serentak, sehingga suara Pemilu DPR dari pemilu sebelumnya dianggap tidak lagi logis dijadikan dasar ambang batas. Menguatkan Dominasi Partai Besar Partai besar memiliki kekuatan menentukan calon, sedangkan partai kecil hanya menjadi pelengkap koalisi. Mengurangi Pilihan Publik Dengan calon yang terbatas, keragaman opsi politik bagi pemilih juga terbatas. B. Argumen Pendukung Ambang Batas Capres Mencegah Terlalu Banyak Calon Sehingga pemilu tidak rumit dan suara tidak terpecah. Stabilitas Sistem Presidensial Presiden butuh dukungan kuat di DPR untuk menjalankan pemerintahan. Koalisi Lebih Solid Partai harus membangun kolaborasi sejak awal. Pengaruh Presidential Threshold terhadap Demokrasi Ambang batas capres memberikan dampak signifikan pada praktik demokrasi di Indonesia. Berikut pengaruh-pengaruh utamanya: 1. Pengaruh terhadap Representasi Politik Semakin tinggi ambang batas, semakin sedikit kandidat yang bisa maju. Hal ini dapat mengurangi representasi berbagai kelompok politik dalam pemilu. 2. Pengaruh terhadap Kompetisi dan Inovasi Politik Dengan terbatasnya jumlah calon, kompetisi bisa melemah. Ide baru, platform politik alternatif, atau tokoh baru memiliki ruang yang sempit untuk muncul. 3. Pengaruh terhadap Koalisi Partai Koalisi lebih dini terbentuk, tetapi sifatnya sering pragmatis, bukan berbasis ideologi. 4. Pengaruh terhadap Kualitas Demokrasi Demokrasi menuntut kompetisi yang sehat dan pilihan yang beragam. Jika terlalu banyak pembatasan, kualitas demokrasi dapat menurun karena pemilih tidak diberi cukup pilihan. 5. Potensi Polarisasi Politik Jumlah calon yang terbatas dapat memperkuat polarisasi (dua kubu besar), yang pada beberapa pemilu sebelumnya tampak jelas. Apakah Presidential Threshold Perlu Dipertahankan? Ini menjadi pertanyaan besar dalam diskursus politik Indonesia. Terdapat tiga pandangan umum: 1. Dipertahankan Dengan alasan stabilitas pemerintahan dan penguatan sistem presidensial. 2. Diturunkan Misalnya menjadi 10% kursi DPR untuk membuka ruang kompetisi yang lebih besar. 3. Dihapus Mengacu pada sistem demokrasi murni: siapa pun berhak mencalonkan diri selama memenuhi syarat administratif. Perdebatan ini masih berlangsung hingga hari ini.


Selengkapnya
84

Rapat Kordinasi dan Launching Indeks Partisipasi Pilkada 2024, Jakarta 17-19 Oktober 2025.

Acara ini dihadiri secara langsung oleh Kepala Bagian Perencanaan, Data dan Informasi Partisipasi Hubungan Masyarakat dan SDM KPU Provinsi Papua Pegunungan Linda Mathelda Rumbiak. Sedangkan para Kepala Sub Bagian SDM dan Parmas  KPU Kabupaten se-Provinsi Papua Pegunungan beserta Staff SDM hadir secara daring. Baca Juga: Ibadah Bersama KPU se-Provinsi Papua Pegunungan Kegiatan ini dibuka secara langsung oleh Ketua KPU RI  Mochammad Afifudin, dalam sambutannya menegaskan "Pentingnya kesadaran politik masyarakat yang terukur dari tingkat pertisipasi dalam Pilkada 2024,partisipasi yang tinggi tidak hanya mencerminkan suksesnya penyelenggaraan tetapi juga berkolerasi dengan legitimasi pilkada yang lebih kuat". Dalam rangka Publikasi pencapaian peningkatan Pilkada  Tahun 2024 KPU RI melaksanakan rapat kordinasi dan launcing indeks partisipasi pilkada tahun 2024 yang dihadir Ketua Divisi Sosialisasi,Pendidikan Pemilih dan Partisipasi Masyarakat dan Kabag Parmas SDM  se Provinsi di Lingkungan KPU RI.


Selengkapnya
239

Golput Saat Pemilu, Bisakah Dipidana? Begini Penjelasan

Setiap warga negara Indonesia yang memenuhi syarat memiliki hak untuk memilih dalam pemilu. Namun, tidak semua orang menggunakan hak tersebut. Fenomena menolak memilih atau tidak datang ke TPS dikenal sebagai golput (golongan putih). Lalu, apakah orang yang golput bisa dikenakan pidana? Secara hukum, bagaimana kedudukannya? Apa Itu Golput Golput adalah istilah untuk menyebut warga negara yang memilih untuk: Tidak datang ke TPS pada hari pemungutan suara, atau Datang ke TPS tetapi tidak mencoblos salah satu calon atau partai. Golput bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti: Ketidakpercayaan pada kandidat atau partai, Kurangnya informasi, Hambatan teknis, Aksi protes politik. Golput: Hak atau Pelanggaran? Menurut UUD 1945 dan UU Pemilu, hak memilih adalah hak konstitusional, bukan kewajiban yang memaksa. Artinya: Negara tidak dapat mempidana atau menghukum warga yang tidak menggunakan hak pilih. Tidak ada sanksi pidana, denda, atau hukuman administratif bagi orang yang memilih golput. Jadi, golput tidak bisa dipidana selama tidak disertai perbuatan melawan hukum. Kapan Golput Bisa Jadi Pelanggaran? Meski tidak memilih tidak dilarang, tindakan yang mengajak orang lain untuk golput secara aktif bisa menjadi masalah hukum jika: Menghasut atau menghalangi orang lain memilih Jika seseorang mencegah orang lain datang ke TPS atau mengajak tidak memilih secara terorganisir, ini bisa dianggap pelanggaran Pasal 515 UU Pemilu. Melakukan intimidasi atau kekerasan Jika memaksa, mengancam, atau menakut-nakuti orang agar tidak memilih, pelaku bisa dikenakan pidana. Merusak logistik atau mengganggu proses pemungutan suara Tindakan sabotase terhadap proses pemilu merupakan kejahatan. Namun, diam dan tidak memilih secara pribadi bukan pelanggaran hukum. Baca Juga: Serangan Fajar Pemilu: Pengertian, Bentuk, Dampak, dan Sanksinya Dasar Hukumnya Berikut beberapa landasan hukum terkait hak memilih: Pasal 22E UUD 1945: Pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil. UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu: Hak memilih bersifat individual dan tidak memuat kewajiban untuk hadir. Tidak ada pasal yang memberikan sanksi bagi warga yang tidak menggunakan hak pilihnya. Sebaliknya, yang bisa dipidana adalah: Menghalangi orang menggunakan hak pilih, Melakukan politik uang, Memalsukan dokumen pemilu, Mengacaukan jalannya pemungutan suara. Dampak Golput terhadap Demokrasi Meskipun tidak dipidana, golput memiliki beberapa dampak, seperti: Menurunkan legitimasi hasil pemilihan, Memberikan kemenangan kepada calon yang memperoleh sedikit suara, Mengurangi representasi rakyat secara riil, Membiarkan keputusan politik diambil oleh segelintir pemilih. Semakin tinggi angka golput, semakin rendah kualitas demokrasi. Golput tidak dipidana karena memilih adalah hak, bukan kewajiban yang dipaksakan oleh negara. Seseorang hanya bisa dipidana jika mengajak atau memaksa orang lain untuk golput dengan cara melawan hukum. Meskipun tidak melanggar hukum, golput tetap berdampak pada legitimasi pemimpin yang terpilih. Menggunakan hak pilih adalah bentuk partisipasi politik yang penting dalam menentukan arah masa depan negara.


Selengkapnya