
Mengapa E-Voting Belum Bisa Diterapkan di Pemilu Nasional Indonesia?
Wamena - Halo sobat pemilih apakah kalian pernah mendengar E - Voting atau Electorinic Voting ? Kalau belum sini baca selengkapnya. E-Voting atau Electrnic Voting adalah sebuah sistem yang menggunakan perangkat elektronik dan teknologi informasi untuk memfasilitasi proses pemungutan suara dalam pemilihan umum, pemilihan kepala daerah, atau pemilihan internal lainnya. Secara sederhana, e-voting adalah pengganti penggunaan kertas suara, paku, dan kotak suara konvensional dengan perangkat digital.
Mengapa E - Voting Belum diterapkan di Indonesia ?
Wacana penerapan electronic voting (e-voting) dalam Pemilihan Umum (Pemilu) di Indonesia sering kali muncul, didorong oleh potensi efisiensi, penghematan biaya, dan kecepatan penghitungan suara yang ditawarkannya. Indonesia bahkan telah melakukan uji coba e-voting dalam skala kecil, terutama dalam Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) di beberapa daerah. Meskipun Mahkamah Konstitusi (MK) telah menyatakan bahwa penggunaan e-voting bersifat konstitusional selama tidak melanggar asas Pemilu (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil), implementasinya pada Pemilu serentak nasional masih menghadapi tantangan besar. Berikut adalah beberapa alasan utama mengapa e-voting belum bisa diterapkan secara menyeluruh di Indonesia:
1. Isu Keamanan Siber dan Integritas Sistem
Isu keamanan adalah kendala terbesar dan paling sensitif. Penerapan e-voting menuntut jaminan keamanan siber yang absolut untuk mencegah peretasan (hacking), manipulasi data, atau serangan siber lainnya.
Risiko Peretasan: Kekhawatiran akan peretasan dan kebocoran data pada sistem elektronik sangat tinggi. Kasus peretasan terhadap website atau data lembaga pemerintah di Indonesia beberapa kali terjadi, yang menimbulkan keraguan publik terhadap kemampuan sistem e-voting menahan serangan siber skala nasional.
Transparansi dan Audit: Dalam sistem konvensional, audit manual melalui penghitungan fisik surat suara masih memungkinkan. Dengan e-voting, proses audit harus mampu memastikan bahwa setiap suara tercatat dengan benar tanpa dimanipulasi. Meskipun teknologi seperti Voter Verifiable Paper Audit Trail (VVPAT) dapat menyediakan jejak audit kertas, sistem utama tetap harus dipercaya sepenuhnya.
2. Kesenjangan Digital dan Infrastruktur
Indonesia adalah negara kepulauan yang sangat luas dengan kondisi geografis dan tingkat akses teknologi yang heterogen.
Akses Listrik dan Internet: Masih banyak daerah terpencil yang memiliki keterbatasan akses listrik stabil dan jaringan internet yang memadai. Sistem e-voting memerlukan sumber daya listrik yang kuat dan, untuk beberapa model, koneksi internet yang stabil agar dapat beroperasi secara serentak di ribuan Tempat Pemungutan Suara (TPS).
Ketersediaan Perangkat: Pengadaan dan distribusi perangkat keras (mesin e-voting) dalam jumlah masif untuk mencakup seluruh TPS di Indonesia membutuhkan investasi awal yang sangat besar dan logistik yang rumit.
Baca Juga: Golput Saat Pemilu, Bisakah Dipidana? Begini Penjelasan
3. Kesiapan Sumber Daya Manusia (SDM) dan Literasi Digital
Keberhasilan e-voting sangat bergantung pada kesiapan petugas pelaksana dan pemilih.
Literasi Digital Pemilih: Meskipun populasi digital Indonesia terus bertambah, tingkat literasi digital masyarakat terutama di daerah pedesaan atau kelompok usia tertentu masih bervariasi. Dibutuhkan sosialisasi besar-besaran agar semua pemilih dapat menggunakan mesin e-voting dengan benar, menghindari human error yang dapat menyebabkan suara tidak sah.
Keahlian Petugas KPPS: Petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus memiliki keahlian teknis yang memadai untuk mengoperasikan, menangani kesalahan (trouble-shooting), dan menjaga perangkat e-voting.
4. Landasan Hukum dan Regulasi
Meskipun konstitusional, penerapan e-voting skala nasional memerlukan payung hukum yang kuat dan spesifik, termasuk Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) yang rinci sebagai peraturan pelaksana. Hingga saat ini, kerangka hukum untuk pelaksanaan Pemilu serentak masih didasarkan pada sistem konvensional. Dibutuhkan penyesuaian besar-besaran pada undang-undang Pemilu yang berlaku.
5. Kepercayaan Publik
Pada akhirnya, kunci dari Pemilu yang demokratis adalah kepercayaan publik terhadap hasil. Adanya kasus-kasus siber atau kegagalan teknis dalam uji coba skala kecil sering kali dimanfaatkan untuk meruntuhkan kepercayaan ini. Beberapa negara, seperti Jerman dan Belanda, bahkan sempat meninggalkan e-voting karena alasan kekhawatiran transparansi dan kepercayaan, meskipun mereka memiliki infrastruktur teknologi yang jauh lebih maju. Di Indonesia, menjaga kepercayaan jutaan pemilih terhadap sebuah "mesin" yang bekerja di belakang layar adalah tantangan politik yang sangat besar.