Parliamentary Threshold di Pemilu Indonesia: Sejarah, Aturan, dan Kontroversi

Parliamentary threshold atau ambang batas parlemen adalah ketentuan dalam sistem pemilu yang mengatur batas minimal perolehan suara partai politik agar bisa mendapatkan kursi di DPR. Kebijakan ini memiliki dampak besar terhadap konfigurasi politik nasional, terutama dalam penyederhanaan partai dan efektivitas pemerintahan.

Artikel ini membahas sejarah, aturan, fungsi, serta kontroversi parliamentary threshold dalam Pemilu Indonesia.

Apa Itu Parliamentary Threshold?

Parliamentary threshold (PT) adalah ambang batas suara sah nasional yang harus dipenuhi partai politik agar dapat mengonversi suara menjadi kursi di DPR. Jika partai gagal memenuhi persentase minimal tersebut, seluruh suara nasional partai tidak dihitung dalam penentuan kursi DPR, meskipun memenangkan suara tinggi di beberapa daerah.

Baca juga: Cara Cek LHKPN Pejabat Negara Secara Online di Situs KPK

Sejarah Parliamentary Threshold di Indonesia

Penerapan ambang batas parlemen dimulai setelah reformasi untuk mendorong penyederhanaan partai politik dan menghasilkan parlemen yang lebih stabil. Berikut perkembangan PT dalam pemilu:

Tahun Pemilu Besaran PT Dasar Hukum
2004 Belum diterapkan, yang ada adalah electoral threshold UU No. 12/2003
2009 2,5% suara sah nasional UU No. 10/2008
2014 3,5% suara sah nasional UU No. 8/2012
2019 dan 2024 4% suara sah nasional UU No. 7/2017

Tren kenaikan PT menunjukkan upaya pemerintah untuk menciptakan parlemen yang tidak terlalu terfragmentasi.

Aturan Parliamentary Threshold dalam Sistem Pemilu

Berdasarkan UU No. 7 Tahun 2017, ketentuan PT berlaku untuk:

Pemilihan DPR RI
✘ Tidak berlaku untuk DPRD Provinsi
✘ Tidak berlaku untuk DPRD Kabupaten/Kota

Artinya, partai yang tidak lolos PT masih bisa memiliki kursi di DPRD sepanjang memperoleh suara cukup di daerah pemilihan.

Tujuan dan Fungsi Parliamentary Threshold

1. Penyederhanaan Sistem Kepartaian

Tanpa PT, banyak partai kecil berpotensi masuk parlemen, yang dapat menyebabkan fragmentasi berlebihan seperti di awal masa reformasi.

2. Efektivitas Pemerintahan

Koalisi pemerintah akan lebih mudah terbentuk bila jumlah partai di DPR lebih sedikit.

3. Mencegah Politik Transaksional

Fragmentasi yang tinggi sering memunculkan lobi-lobi politik untuk mengamankan dukungan, yang dapat melemahkan stabilitas.

4. Memperkuat Sistem Presidensial

Sistem presidensial lebih efektif jika didukung parlemen yang tidak terpecah-pecah.

Kontroversi Parliamentary Threshold

Meskipun memiliki tujuan positif, kebijakan ini juga menuai kritik.

1. Menghilangkan Suara Pemilih

Jika partai tidak mencapai PT, maka jutaan suara pemilih menjadi tidak dihitung untuk DPR.

Hal ini dianggap tidak adil oleh sebagian pengamat.

2. Merugikan Partai Kecil

Partai baru atau kecil sulit bersaing dengan partai lama yang sudah memiliki basis suara kuat.

3. Tidak Mencerminkan Keanekaragaman Politik

Kenaikan PT dianggap berpotensi menyingkirkan kelompok minoritas atau ideologi tertentu dari parlemen nasional.

4. Berpotensi Tidak Sejalan dengan Prinsip Proporsional

Sistem proporsional seharusnya mencerminkan suara rakyat secara lebih merata, namun PT dapat membuat hasil pemilu menjadi lebih mayoritarian.

Dampak Parliamentary Threshold pada Konfigurasi Politik Pemilu

Beberapa dampak penting:

  • Menyusutnya jumlah partai di DPR dari 9–10 partai menjadi 6–8 partai pasca penerapan PT.

  • Menambah stabilitas koalisi pemerintahan, karena partai di parlemen lebih sedikit.

  • Pergeseran strategi kampanye, di mana partai fokus pada perolehan suara nasional, bukan hanya daerah.

Apakah Parliamentary Threshold Perlu Diubah?

Ahli politik memiliki beberapa pandangan:

Tetap Dipertahankan

  • Untuk stabilitas politik

  • Agar parlemen tidak terlalu besar dan terfragmentasi

Diturunkan atau Dihapus

  • Agar suara rakyat tidak terbuang

  • Untuk membuka ruang bagi representasi politik baru

Diskusi mengenai PT kemungkinan akan terus berkembang menjelang Pemilu 2029.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 230 Kali.