Sejarah dan Debat Panjang Presidential Threshold dalam Pemilu Indonesia
Halo #TemanPemilih Istilah presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden merupakan salah satu isu paling hangat dalam sejarah pemilu di Indonesia. Sejak pertama kali diterapkan, kebijakan ini telah memunculkan perdebatan panjang di kalangan politisi, akademisi, dan masyarakat karena dianggap berpengaruh besar terhadap dinamika demokrasi dan keterbukaan politik nasional.
Asal-Usul Presidential Threshold di Indonesia
Konsep presidential threshold mulai diterapkan setelah amandemen UUD 1945 dan penerapan sistem pemilihan presiden secara langsung pada Pemilu 2004. Sebelumnya, presiden dan wakil presiden dipilih oleh MPR, bukan oleh rakyat secara langsung. Untuk mengatur mekanisme baru tersebut, pemerintah dan DPR menetapkan ketentuan ambang batas dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden. Pada Pemilu 2004, ambang batas ditetapkan sebanyak 3% kursi DPR atau 5% suara sah nasional bagi partai politik atau gabungan partai yang ingin mengusung pasangan calon presiden dan wakil presiden. Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah terlalu banyak pasangan calon dan menjaga stabilitas politik.
Perubahan dari Waktu ke Waktu
Seiring berjalannya waktu, aturan ambang batas terus berubah melalui revisi undang-undang pemilu. Berikut perkembangannya:
-
Pemilu 2004
-
Syarat: 3% kursi DPR atau 5% suara sah nasional.
-
Tujuan: Mendorong efisiensi politik dan meminimalisasi jumlah pasangan calon.
-
-
Pemilu 2009
-
Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2008.
-
Ambang batas dinaikkan menjadi 20% kursi DPR atau 25% suara sah nasional.
-
Alasan utama: memperkuat sistem presidensial dan mendorong pembentukan koalisi partai besar.
-
-
Pemilu 2014, 2019, dan 2024
-
Ketentuan 20%-25% tetap dipertahankan melalui UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
-
Meski banyak kritik dan gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK), ambang batas tersebut tetap diberlakukan.
-
Debat Panjang Mengenai Presidential Threshold
Kebijakan ini menjadi topik perdebatan panjang karena menyangkut hak konstitusional partai politik dan pilihan rakyat dalam demokrasi. Beberapa pandangan pro dan kontra berkembang sejak lama:
Pihak yang Mendukung
-
Menjaga stabilitas pemerintahan
Dengan jumlah calon yang terbatas, koalisi politik lebih solid dan pemerintahan lebih stabil. -
Menghindari polarisasi berlebihan
Terlalu banyak calon presiden dikhawatirkan menimbulkan konflik tajam di masyarakat. -
Mendorong penyederhanaan sistem kepartaian
Ambang batas dianggap membantu menekan jumlah partai yang terlalu banyak dan memperkuat sistem presidensial.
Pihak yang Menentang
-
Membatasi hak partai dan rakyat
Partai-partai kecil kehilangan hak konstitusionalnya untuk mencalonkan presiden, padahal mereka mewakili suara rakyat. -
Tidak sesuai dengan sistem presidensial murni
Dalam sistem presidensial sejati, presiden dipilih langsung oleh rakyat tanpa bergantung pada hasil legislatif. -
Menutup peluang munculnya calon alternatif
Ambang batas tinggi menyebabkan hanya partai besar yang bisa mengajukan calon, sehingga pilihan publik menjadi sempit. -
Bisa memperkuat oligarki politik
Dengan konsentrasi kekuatan di partai besar, elite politik semakin dominan dalam menentukan calon presiden.
Gugatan ke Mahkamah Konstitusi
Sejak diberlakukan, ketentuan ambang batas pencalonan presiden telah berulang kali digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK). Beberapa kali gugatan diajukan oleh akademisi, aktivis, dan partai-partai kecil, dengan alasan bahwa aturan tersebut bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang menyebutkan pasangan calon presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik tanpa menyebut adanya batasan suara atau kursi tertentu. Namun, hingga kini MK selalu menolak permohonan tersebut. MK berpendapat bahwa penetapan ambang batas merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy) yang menjadi wewenang pembentuk undang-undang, bukan pelanggaran konstitusi.
Baca juga: Apa Itu Yudikatif? Ini Tugas dan Wewenangnya dalam Pemerintahan
Dampak Politik dalam Pemilu
Ketentuan ambang batas ini secara nyata memengaruhi dinamika politik nasional, antara lain:
-
Mendorong terbentuknya koalisi besar sebelum pemilu, karena partai-partai harus bekerja sama untuk memenuhi ambang batas.
-
Membatasi jumlah pasangan calon presiden (misalnya hanya dua pasangan dalam Pemilu 2014, 2019, dan 2024).
-
Mengurangi keberagaman kandidat, tetapi di sisi lain memperkuat stabilitas politik pasca pemilu.