Pidana vs Diskualifikasi: Dua Jalur Sanksi dalam Hukum Pemilu Indonesia

Pemilihan umum (Pemilu) adalah fondasi utama demokrasi di Indonesia. Melalui Pemilu, rakyat menyalurkan hak kedaulatannya untuk menentukan arah pemerintahan. Namun, proses demokrasi yang ideal ini sering kali diwarnai dengan pelanggaran, mulai dari politik uang hingga manipulasi hasil suara. Dalam konteks inilah, muncul dua bentuk konsekuensi hukum yang sering menimbulkan perdebatan publik: pidana Pemilu dan diskualifikasi peserta Pemilu.

Keduanya sama-sama berfungsi untuk menegakkan keadilan Pemilu, namun memiliki karakteristik, mekanisme, dan dampak hukum yang berbeda. Artikel ini akan mengurai kompleksitas hubungan antara pidana dan diskualifikasi dalam sistem keadilan Pemilu di Indonesia.

Dua Jalur Sanksi: Antara Pidana dan Diskualifikasi

Dalam sistem hukum Pemilu, pelanggaran dapat mengarah pada dua jenis sanksi utama:

1. Sanksi Pidana Pemilu

Sanksi pidana merupakan hukuman yang dijatuhkan melalui proses peradilan pidana karena pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang bersifat kriminal. Dasar hukumnya termuat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya Bab XXII tentang Ketentuan Pidana.

Contohnya:

  • Politik uang (Pasal 515 dan 523 UU Pemilu).

  • Pemalsuan dokumen hasil Pemilu (Pasal 544).

  • Menghalangi hak pilih warga negara (Pasal 510).

Sanksinya dapat berupa pidana penjara (hingga 4–6 tahun) dan/atau denda (hingga Rp24 juta).

2. Sanksi Diskualifikasi

Sanksi ini bersifat administratif dan politis, bukan pidana. Diskualifikasi diberikan oleh penyelenggara Pemilu (KPU) berdasarkan rekomendasi Bawaslu, jika peserta terbukti melakukan pelanggaran berat seperti:

  • Melanggar aturan kampanye secara sistematis, terstruktur, dan masif (STM).

  • Terlibat politik uang dalam skala besar.

  • Tidak memenuhi syarat calon atau partai politik.

Diskualifikasi berarti pembatalan status peserta Pemilu, baik individu maupun partai politik, yang berakibat langsung pada gugurnya hak untuk dipilih.

Baca juga7 Fungsi Kearifan Lokal dalam Kehidupan Sehari-hari

Kompleksitas dalam Penegakan Hukum Pemilu

Hubungan antara pidana dan diskualifikasi tidak selalu sederhana. Dalam praktiknya, ada banyak titik tumpang tindih dan celah hukum yang sering memunculkan perdebatan.

1. Perbedaan Lembaga Penegak

  • Sanksi pidana ditangani oleh Sentra Gakkumdu (Bawaslu, Kepolisian, dan Kejaksaan) melalui mekanisme peradilan.

  • Sanksi diskualifikasi ditangani oleh KPU dan Bawaslu, dengan dasar temuan atau laporan pelanggaran administratif Pemilu.

Perbedaan jalur ini sering menimbulkan kesan bahwa pelanggaran yang sama dapat memiliki dua konsekuensi berbeda, tergantung pada pembuktiannya dan forum yang memutuskan.

2. Masalah Pembuktian dan Waktu Penanganan

Proses pidana membutuhkan alat bukti kuat dan waktu panjang, sementara proses diskualifikasi cenderung lebih cepat karena sifatnya administratif. Namun, hal ini juga membuka potensi tumpang tindih jika keputusan administratif keluar sebelum proses pidana selesai.

3. Dampak Politik yang Signifikan

Sanksi pidana menjerat pelaku secara pribadi, tetapi tidak selalu membatalkan hasil Pemilu. Sebaliknya, sanksi diskualifikasi bisa membatalkan kemenangan kandidat atau partai politik — sehingga dampaknya lebih besar secara politik dan sosial.

Tujuan Bersama: Menegakkan Integritas Pemilu

Meskipun berbeda jalur, pidana dan diskualifikasi memiliki tujuan yang sama, yaitu menjaga integritas dan kejujuran Pemilu.

Sanksi pidana memberikan efek jera terhadap individu pelanggar, sementara diskualifikasi menegaskan bahwa hasil Pemilu tidak boleh diperoleh melalui cara yang curang.

Dengan demikian, sistem keadilan Pemilu berupaya menjaga dua hal sekaligus:

  1. Keadilan hukum – melalui penegakan pidana bagi pelaku pelanggaran.

  2. Keadilan elektoral – melalui penegakan sanksi administratif untuk menjaga legitimasi hasil Pemilu.

Tantangan dalam Menerapkan Kedua Sanksi

Beberapa tantangan yang masih dihadapi dalam sistem keadilan Pemilu Indonesia antara lain:

  • Koordinasi antar lembaga penegak hukum yang belum optimal antara Bawaslu, KPU, dan Gakkumdu.

  • Perbedaan persepsi antara pelanggaran pidana dan administratif.

  • Keterbatasan waktu penanganan laporan menjelang tahapan rekapitulasi hasil suara.

  • Tekanan politik yang dapat memengaruhi keputusan administratif maupun peradilan.

Tantangan ini menunjukkan bahwa penegakan hukum Pemilu tidak hanya soal regulasi, tetapi juga komitmen moral dan keberanian lembaga dalam menjaga kedaulatan rakyat.

 

Sistem keadilan Pemilu di Indonesia memang kompleks, karena harus menyeimbangkan aturan hukum, keadilan elektoral, dan kepentingan demokrasi. Pidana dan diskualifikasi, meski berbeda jalur, keduanya merupakan alat penting untuk memastikan Pemilu berjalan bersih, jujur, dan adil.

Ke depan, sinergi antar lembaga penegak hukum Pemilu perlu terus diperkuat agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan. Hanya dengan cara itu, Pemilu benar-benar dapat menjadi wujud nyata dari kedaulatan rakyat yang berintegritas.

Baca jugaJenis dan Dasar Hukum Tindak Pidana Pemilu

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Dilihat 18 Kali.